Halo!
Maaf ya sudah lama banget gak nulis apapun, semoga ada yang nungguin yaaa haha.
Apa yang terbersit di pikiran kalian saat baca judulnya? agak gimana gitu ya? mungkin emang karena segitu negatifnya stigma "janda" di negeri kita. Kalau duda jadi stigma negatif juga-kah? kayanya gak terlalu ya, ini memang subjektif menurut saya aja. Kan website pribadi jadi suka-suka dong mau cerita apa, bayar sendiri juga :p
Tapi semoga oneday bisa menulis dengan bahan penelitian atau observasi yang cukup kompleks, aamiin.
"Saya hampir lupa kalau menulis adalah meditasi yang terbaik untuk saya."
Langsung simak aja cerita singkat saya, semoga bisa menjadi motivasi dan sedikit inspirasi.
Pernah melihat feed IG seorang teman yang notabene tidak begitu dekat dengan saya dan dia sedang memproklamirkan bahwa currently she is a new single mom with a teenage daughter and son.
Hmm saya pun mikir perlu gak yaa untuk melakukan hal yang sama jika putusan hakim sudah jatuh resmi? Sepertinya sih nggak perlu, bukan karena malu tapi lebih karena "emang perlu ya?"
Followers juga gak banyak dan kayanya gak ada yang butuh juga dengan informasi kalau saat ini saya adalah seorang single mom. Tapi pas dulu menikah emang ada pengumuman juga dengan osting di feed IG sebulan setelah resepsi. Namanya juga "kabar gembira" harus dibagi-bagi katanya kan hehe. Jadi kenapa kalau cerai ragu-ragu untuk pengumuman? Kemungkinan besar karena berita baik lebih mudah diungkapkan dan diterima oleh masyarakat kita.
Hmm mungkin emang diri saya sendiri yang sebenernya belum siap untuk say it out loud. Namun alhamduliah saya gak malu dengan status terbaru saya, minder dikit pasti ada, iri melihat keluarga orang lain harmonis itu pasti. Menurut saya mengakui perasaan lemah itu bukan sebuah kelemahan melainkan sebuah kekuatan.
Setiap anter anak ke Rumah Sakit (RS) untuk imunisasi atau cek tumbuh kembang pasti melihat pemandangan keluarga "harmonis", setidaknya yang terlihat di permukaan seperti itu, dalamnya seperti apa cuma mereka yg tau dan bukan urusan saya maupun orang lain. Saya selalu sendirian dengan segala kerempongan kalau bawa anak ke RS. Gak perlu lagi ngerepotin orang tua minta diantar ke RS karena saya yakin saya mampu sendiri. Ternyata memang gak mudah lhoh untuk bisa ngelakuin itu semua sendiri. Registrasi di RS, antri, prosedural, sambil jagain bayi hehe. Semakin salut sama perjuangan seluruh ibu di luar sana dan semakin paham profesi "ibu" itu gak akan bisa dirasian "nikmatnya" kalau tidak dijalani langsung. Juga semakin salut sama mama saya yang sudah membesarkan ketiga anaknya dengan baik dan dengan rentang usia yang cukup dekat.
Saya sadar bahwa saya selalu memaksakan diri ini untuk kuat, karena saya merasa tidak ada waktu untuk lemah dan bersedih. Ada makhluk kecil yang membutuhkan dan sangat bergantung dengan saya. Saya tetap bertahan untuk tidak runtuh demi putri semata wayang saya, yang saya lahirkan dan menjadi tanggung jawab saya untuk membesarkan serta mendidiknya. Atas izin dan titipan Allah SWT.
Akhirnya untuk belajar menghadapi kenyataan, saya mulai membiasakan diri dengan cerita ke saudara bukan kandung. Jika dengan teman dan saudara kandung saya sudah pasti cerita semuanya karena saya bukan tipe yang bisa memendam kegelisahan sendiri. Itu ada positifnya, karena kalau misalnya sejak dulu saya pendam mungkin hingga detik ini saya masih berada dalam lingkungan pernikahan yang tidak sehat itu.
Pertama-tama saya mencoba untuk cerita ke sepupu terdekat saya, saat si sepupu sedang main ke rumah orang tua saya. Dia sama sekali gak nanya apa-apa tentang bapaknya anak saya, misalnya "kok gak kelihatan di rumah, padahal libur". Ternyata karena sudah di-warning ibunya untuk tidak tanya apa-apa. Ibu dari sepupu alias tante saya mengetahui lebih dulu tentang status pernikahan saya karena sudah dapat informasi terlebih dahulu dari mama saya. Tetapi saya memutuskan untuk memberitahukan secara langsung kepada si sepupu, saya berpikir bahwa saya harus belajar untuk utarakan ini semua. Misalnya jika sewaktu-waktu saat acara keluarga ditodong dengan pertanyaan "mana bapak anak saya", jadi saya udah persiapan haha. Tapi sebenernya juga jarang banget ada yang tanya karena kalau lagi acara keluarga, sepupu-sepupu cewe saya emang pada jarang bawa suami hehe. Sebenarnya juga bukan penjelasan detail yang akan saya utarakan tetapi lebih ke perasaan saya bangga kalau saya bisa memutuskan untuk keluar dari pernikahan itu dan pede menjadi single mom.
Saat memutuskan keluar dari pernikahan itu tentu saja dengan kondisi yang tidak merdeka secara finansial. Sejak hamil dan melahirkan saya memutuskan untuk tidak bekerja dulu, setidaknya sampai anak berumur dua tahun. Saya tahu kapasitas diri saya, saya tidak akan mampu menjadi seorang new mom sekaligus seorang working at an office mom dalam satu waktu bersamaan.
Kelahiran anak saya yang prematur membuat saya semakin untuk benar-benar tidak bisa meninggalkan anak saya sama sekali untuk kantoran. Rasanya serba khawatir apalagi saya orangnya sangat-sangat overthinking. Mungkin ini akan dibahas di lain cerita yaa hehe
Sampai saat ini janda menjadi stigma negatif di masyarakat kita, miris ya. Tetapi di tahun 2024 ini terlihat sudah ada progress karena semakin banyak perempuan yang berani speak up untuk membela hak-nya dan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan di masyarakat. Alhamdulillah gerakan women support women juga semakin luas ya :)
Pasti tidak mudah untuk melalui ini semua, seiring berjalan waktu belajar untuk ikhlas dan selalu manifesting juga berusaha mindfulness dengan keadaan saat ini. Toh saya juga lebih banyak merasa lega dengan adanya perceraian ini. Akhirnya bisa berani mengambil keputusan setelah ikhtiar maksimal dan sangat memperhitungkan apa yang terbaik untuk anak perempuan saya.
"Wow gw ternyata bisa laluin itu semua, ternyata bisa bertahan sampai saat ini, semoga ke depannya lebih baik". Walaupun drama-nya gak akan berhenti walaupun sudah "pisah" apalagi karena ada anak di antara kita. Semoga selalu dijauhkan dengan hal-hal yang akan memicu stress dan didekatkan dengan yang baik-baik menurut Allah.
Setelah semua up and down of my mental health and my feelings, saat ini saya selalu berusaha untuk afirmasi diri dengan "Saya memutuskan untuk berhenti dari pernikahan ini bukan karena saya lemah tetapi karena saya hebat". Saya tahu kapan harus terus berjuang dan kapan saya harus berhenti. Bukan hal yang mudah bagi kebanyakan orang tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berjuang. Jika anak saya besar nanti saya bisa jelaskan dan berani bertanggungjawab karena memang saya sudah berjuang dan melakukan upaya terbaik semampu saya untuk memperjuangkan keluarga kecil kami.
Saya pun sangat bersyukur memiliki support sistem yang sangat kuat dan luar biasa dari keluarga dan sahabat. Saya selalu tahu kemana saya harus pulang, yaitu ke pelukan mama dan papa saya (rahimahullah) serta kakak-kakak saya yang tiada lelahnya membantu dan mendengarkan cerita saya. Sampai saya pun juga berpikir kalau sudah over-sharing tentang kehidupan saya hehe.
Pernikahan saya yang sebentar bukan karena saya main-main tapi saya sudah berjuang sekuat tenaga sedari awal. Memang tidak bisa yang namanya pernikahan akan berhasil kalau yang berjuang hanya salah satu pihak saja. Mungkin pihak lainnya sudah merasa berjuang juga, tetapi ternyata itu tidak cukup.
Saya bukan sekolah tempat anda belajar, sebelum memutuskan menjadi suami dan ayah seharusnya anda sudah belajar, sudah menyelesaikan segala issue atau trauma yang pernah anda alami.
Maybe I was settle for less and felt worthless but now I am a new person with new mindset and I won't settle for less anymore, I know my worth. InsyaAllah.
💛
Bukan tidak berjodoh tetapi memang jodohnya sampai di situ saja.
Bukan pernikahan yang gagal tetapi pernikahannya hanya berhasil sampai di situ saja.
Saat itu saya hanya ingin terus berjuang lebih keras mempertahankan pernikahan karena saya berharap jika suatu saat puteri saya sudah besar dan bertanya, saya bisa menjawab dengan "iya nak, mama sudah berjuang semaksimal mungkin, dan memang sudah tidak bisa dilanjutkan". Setidaknya saya tidak akan penasaran lagi dan tidak akan menyesal, insyaAllah.
Saat saya mengatakan kalimat itu kepada sahabat saya, dia langsung berucap "bener banget, gw jadi saksinya akan kerasnya perjuangan lo" dan hal itu bikin gw terharu banget.
Setelah saya pikir-pikir, hingga detik ini saya belum pernah menangisi perceraian saya. Apakah ini kesedihan yang tertunda? tapi tampaknya bukan juga karena saya lebih banyak bersyukur dan lega daripada bersedih karena bisa berpisah dengan dia.
Yang saya tahu saya juga selalu menutupi kesedihan saya dengan tertawa. Saya menyadari hal ini saat saya sedang proses konseling dengan psikolog, saat itu saya cerita dengan tertawa-tawa bahwa saya masih dihina oleh si ex padahal posisi sudah resmi cerai. Psikolog pun bertanya "kenapa saya tertawa" saya pun terdiam dan mikir "iya ya apa reaksi seperti ini salah, tapi saya gak mau sedih, saya mau ketawain aja kalo ada sesuatu dengan si ex".
Tetapi setelah saya pikir-pikir kenapa saya harus tertawa padahal perasaan saya sakit hati saat dihina, walaupun sudah pisah saya masih ibu dari anak dia. Itulah mungkin saya hanya menutupi perasaan saya dengan tertawa dan berusaha kuat. Mungkin ini memang rasa sedih yang tertunda.
Kepada semua Janda dan penyintas di luar sana, baik dengan anak maupun tanpa anak. Percayalah kalian semua hebat dan mampu. Carilah support system terbaik kalian. Gunakan smartphone kalian untuk mencari platform untuk single mom dans survivor sejenis lainnya, Kalian tidak sendiri.
*virtual hugs*
0 comments :
Post a Comment