Menjelang pergantian malam tahun baru etnis Tiong Hoa, dirasakan situasi di Jakarta sangat chaos. Entah situuasi ini sudah biasa dialami warga Jakarta atau karena ini memang malam tahun baru. “Rasanya macetnya lebih parah dari biasa, udah mengantri setengah jam transjakarta belum datang juga,” batin Alinka mengucap. Ia adalah seorang karyawati yang baru saja menjamah daerah Roxy Mas, Jakarta Barat. “Rasanya ga sanggup deh tiap hari kaya gini terus,” keluh Alinka dalam hatinya lagi. Hujan angin turut meramaikan malam tahun baru itu, yang dipercayakan membawa hoki bagi etnis tersebut.
Namun bukan hoki yang didapat seorang Bapak berumur sekitar 60 tahunan, melainkan kebalikannya. Alinka terus saja memperhatikan bapak yang sedang mengantri di depannya, ternyata bapak tersebut terkena tampiasan air hujan saat mengantri bus tranjakarta di Jembatan sampai celananya basah kuyup. Baru pertama kali dirasakan Alinka antrian transjakarta menuju halte Lebak Bulus sepanjang ini, sampai memadati jembatan menuju jalur penyebrangan.
“Basah ya pak?” ucap alinka basa-basi terhadap bapak di depannya.
Lalu bapak itu menoleh, “ia nih nak, kok fasilitas dari pemerintah ga nyaman gini ya? Liat aja tuh atap jembatannya bocor, baju Bapak juga jadi basah.” Oalah ternyata bukan hanya celana bapak itu saja yang basah tapi juga kemejanya.
Perasaan kasihan melanda Alinka melihat bapak ini, dan ia pun mengajak bapak untuk menggeser tempat berdirinya, namun hasilnya Nihil. Setelah menunggu kurang lebih 45 menit di Halte Sumber Waras bapak itu mengajak Alinka untuk transit saja di Halte Harmoni.
“Nak, kita ke harmoni aja yuk disana bus nya kosong, pasti kita bisa langsung naik ga perlu ngantri lama kayak gini.”
Sebagai orang baru alinka menuruti saja ucapan bapak itu, karena dia sendiri juga merasakan bahwa setiap bus datang hanya terangkut 5-10 penumpang. Sedangkan antrian mencapai dua setengah meter.
Akhirnya tanpa berlama-lama kami sudah sampai di Harmoni.
“Waw antriannya panjang juga pak, sama aja nih,” kata Alinka. Bapak itu menimpali, “tenang aja nak bapak udah biasa naik transjakarta, sebentar lagi kita pasti bisa naik bus, kan busnya pada kosong.” “Semoga aja pak” balasnya sambil tersenyum.
“Waaah bisa tua di jalan nih kalo tiap hari kaya gini.” Alinka menyesali lokasi pekerjaan barunya yang sangat jauh. Ia jadi teringat telah menolak pekerjaan yang mirip dengan hobinya. Penyesalan ini disadari betul tidak ada gunanya lagi, “padahal kan enak cari berita di daerah Tangsel aja, ke kantor juga cuma seminggu sekali,” desah pikiran Alinka.
Untung saja ada Bapak baik hati yang mengajak Alinka mengusir rasa bosannya menunggu kedatangan transjakarta. Ia berpikir, “bapak ini kuat juga tiap hari mengantri Transjakarta berjam-jam, aku yang masih muda ga boleh kalah dong,” menyemangati dirinya sendiri.
Setengah jam telah berlalu dan transjakarta jurusan Lebak Bulus muncul juga, para penumpang berdesakan memasuki pintu bus. Bapak yang lebih tua itu malah membantu alinka yang masih muda ini menaiki bus. Akhirnya perempuan itu dan sang bapak berdua berdiri di dalam bus. Sebal sekali dia melihat para pemuda yang tidak mau memberikan tempat duduk kepada bapak yang sudah berumur ini. Mungkin memang seperti ini mental anak mudak zaman sekarang. "Kita semua juga pasti posisinya pasti sudah sama-sama capek tapi kasian kan bapak ini udah tua."
Jalanan malam itu sangat macet dan semrawut, perempuan berambut coklat lebat itu menjadi khawatir dengan apa yang diberitakan koran menjadi kenyataan, Jakarta akan lumpuh. Melonjaknya angka pertambahan penduduk menyebabkan Jakarta penuh sesak dan bertaransformasi menjadi kota kecil. Rasanya mau jalan kemana-mana pasti disambut dengan kemacetan.
Alinka jadi teringat dengan perkataan gubernur DKI Jakarta, katanya mau berantas kemacetan, mana? Katanya mau bikin MRT (Mass Rapid Transportation) kereta bawah tanah seperti yang dimiliki Singapura atau Shinkansen Jepang, tapi ga keliatan tuh progressnya. “Lagian Jakarta langganan Banjir aja mau bangun gituan segala, berantas dulu tuh banjir,” pikir Alinka sok tahu. Monorail yang mulai dibangun beberapa tahun silam sudah terbengkalai disepenjang jalan Asia Afrika, Senayan.
” Padahal kalau itu ada mungkin kita gak perlu macet-macetan tiap hari ya pak?” Tanya alinka kepada si bapak baik hati.
“Wah proyek itu udah ditinggalin gitu aja ya nak sama pihak berwenang.” Balas bapak itu.
“Kalau aja setiap jalan di Jakarta dibangun jalan layang kayak di kota Shanghai kita ga perlu selalu macet-macetan kaya gini ya kan.”
“Wah nak itu mah ntar dibangunnya kalau udah mau kiamat.” Canda si bapak berkacamata.
Akhirnya hal ini menjadi topik seru antara kedua orang asing yang tidak sengaja mengalami nasib yang sama dengan kemacetan.
Sang bapak juga tak kunjung mendapat tempat duduk, kasihan sudah 45 menit ia berdiri dan mereka belum juga mencapai halte yang ke-3.
Lalu di malam yang sangat ramai itu, tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan sangat keras dan disusul lampu bus padam, gelap total, semua orang berteriak histeris namun alinka tidak dapat mengeluarkan suaranya.
Namun bukan hoki yang didapat seorang Bapak berumur sekitar 60 tahunan, melainkan kebalikannya. Alinka terus saja memperhatikan bapak yang sedang mengantri di depannya, ternyata bapak tersebut terkena tampiasan air hujan saat mengantri bus tranjakarta di Jembatan sampai celananya basah kuyup. Baru pertama kali dirasakan Alinka antrian transjakarta menuju halte Lebak Bulus sepanjang ini, sampai memadati jembatan menuju jalur penyebrangan.
“Basah ya pak?” ucap alinka basa-basi terhadap bapak di depannya.
Lalu bapak itu menoleh, “ia nih nak, kok fasilitas dari pemerintah ga nyaman gini ya? Liat aja tuh atap jembatannya bocor, baju Bapak juga jadi basah.” Oalah ternyata bukan hanya celana bapak itu saja yang basah tapi juga kemejanya.
Perasaan kasihan melanda Alinka melihat bapak ini, dan ia pun mengajak bapak untuk menggeser tempat berdirinya, namun hasilnya Nihil. Setelah menunggu kurang lebih 45 menit di Halte Sumber Waras bapak itu mengajak Alinka untuk transit saja di Halte Harmoni.
“Nak, kita ke harmoni aja yuk disana bus nya kosong, pasti kita bisa langsung naik ga perlu ngantri lama kayak gini.”
Sebagai orang baru alinka menuruti saja ucapan bapak itu, karena dia sendiri juga merasakan bahwa setiap bus datang hanya terangkut 5-10 penumpang. Sedangkan antrian mencapai dua setengah meter.
Akhirnya tanpa berlama-lama kami sudah sampai di Harmoni.
“Waw antriannya panjang juga pak, sama aja nih,” kata Alinka. Bapak itu menimpali, “tenang aja nak bapak udah biasa naik transjakarta, sebentar lagi kita pasti bisa naik bus, kan busnya pada kosong.” “Semoga aja pak” balasnya sambil tersenyum.
“Waaah bisa tua di jalan nih kalo tiap hari kaya gini.” Alinka menyesali lokasi pekerjaan barunya yang sangat jauh. Ia jadi teringat telah menolak pekerjaan yang mirip dengan hobinya. Penyesalan ini disadari betul tidak ada gunanya lagi, “padahal kan enak cari berita di daerah Tangsel aja, ke kantor juga cuma seminggu sekali,” desah pikiran Alinka.
Untung saja ada Bapak baik hati yang mengajak Alinka mengusir rasa bosannya menunggu kedatangan transjakarta. Ia berpikir, “bapak ini kuat juga tiap hari mengantri Transjakarta berjam-jam, aku yang masih muda ga boleh kalah dong,” menyemangati dirinya sendiri.
Setengah jam telah berlalu dan transjakarta jurusan Lebak Bulus muncul juga, para penumpang berdesakan memasuki pintu bus. Bapak yang lebih tua itu malah membantu alinka yang masih muda ini menaiki bus. Akhirnya perempuan itu dan sang bapak berdua berdiri di dalam bus. Sebal sekali dia melihat para pemuda yang tidak mau memberikan tempat duduk kepada bapak yang sudah berumur ini. Mungkin memang seperti ini mental anak mudak zaman sekarang. "Kita semua juga pasti posisinya pasti sudah sama-sama capek tapi kasian kan bapak ini udah tua."
Jalanan malam itu sangat macet dan semrawut, perempuan berambut coklat lebat itu menjadi khawatir dengan apa yang diberitakan koran menjadi kenyataan, Jakarta akan lumpuh. Melonjaknya angka pertambahan penduduk menyebabkan Jakarta penuh sesak dan bertaransformasi menjadi kota kecil. Rasanya mau jalan kemana-mana pasti disambut dengan kemacetan.
Alinka jadi teringat dengan perkataan gubernur DKI Jakarta, katanya mau berantas kemacetan, mana? Katanya mau bikin MRT (Mass Rapid Transportation) kereta bawah tanah seperti yang dimiliki Singapura atau Shinkansen Jepang, tapi ga keliatan tuh progressnya. “Lagian Jakarta langganan Banjir aja mau bangun gituan segala, berantas dulu tuh banjir,” pikir Alinka sok tahu. Monorail yang mulai dibangun beberapa tahun silam sudah terbengkalai disepenjang jalan Asia Afrika, Senayan.
” Padahal kalau itu ada mungkin kita gak perlu macet-macetan tiap hari ya pak?” Tanya alinka kepada si bapak baik hati.
“Wah proyek itu udah ditinggalin gitu aja ya nak sama pihak berwenang.” Balas bapak itu.
“Kalau aja setiap jalan di Jakarta dibangun jalan layang kayak di kota Shanghai kita ga perlu selalu macet-macetan kaya gini ya kan.”
“Wah nak itu mah ntar dibangunnya kalau udah mau kiamat.” Canda si bapak berkacamata.
Akhirnya hal ini menjadi topik seru antara kedua orang asing yang tidak sengaja mengalami nasib yang sama dengan kemacetan.
Sang bapak juga tak kunjung mendapat tempat duduk, kasihan sudah 45 menit ia berdiri dan mereka belum juga mencapai halte yang ke-3.
Lalu di malam yang sangat ramai itu, tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan sangat keras dan disusul lampu bus padam, gelap total, semua orang berteriak histeris namun alinka tidak dapat mengeluarkan suaranya.