Saya ini penggemar kendaraan umum, kemana-mana selalu mengandalkan bus.
Sudah murah, terkadang juga lebih cepat sampai karena sang supir yang membawa bus dengan ugal-ugalan. Melawan arus, tikung sana-sini, salip sana-sini, tidak perduli dengan badannya yang besar.
Saat si Komo lewat pun, para supir bus tetap saja membawa badannya dengan gaya masing-masing sekehendak hati. Terkadang saya ikut tertawa saat si supir bus melawan arus dan memotong antrian, sontak para supir mobil pribadi langsung mengklakson. Maklum sajalah supir bus kan memang mencari nafkah, dan penumpangnya pun banyak, jadi bolehlah menyelak sedikit para mobil pribadi yang isinya hanya satu atau dua orang.
Rasanya semrawut sekali ya jalanan ibu kota kita. Motor-motor sudah seperti kawanan perompak yang suka mengambil jalur mobil dan tentu saja dengan gaya andalan--menyalip. Enak sekali menaiki motor dan bus di kala macet. Namun saat saya berada di posisi pengguna mobil pribadi hal ini sangatlah mengganggu dan nyaris mengancam.
Bayangkan saja jika para pengendara motor yang menyalip tanpa melihat kiri kanan tertabrak oleh mobil pribadi, siapa yang disalahkan? Bahkan tidak jarang saat saya berada di mobil pibadi dalam posisi diam, masih saja disundul oleh motor.
Kalau bicara salah menyalahkan, siapa yang mau disalahkan dalam posisi ini? Pemerintah? Masyarakat? Apa salahkan saja kota Jakarta yang terlalu padat penduduk, atau salahkan saja yang tidak melakukan program KB? sehingga penduduk Indonesia jadi meledak.
Sedikit melihat tata kota negara tetangga Singapura, wilayah yang kecil hanya 710.2 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 menurut wikipedia sebanyak 5.076.700. Bandingkan dengan kota Jakarta, luasnya hampir sama besar dengan negara singapura, 740.3 km2. Namun penduduknya mencapai 9.588.198.
Padat sekali kota jakarta kita ini, pantas saja pak polisi lalu lintas kesulitan menertibkan pengguna jalan umum. Pantas saja usaha pemerintah menambah armada Transjakarta sebanyak apapun, tampaknya tidak pernah mencukupi.
Mau bikin Mass Rapid Train (MRT) seperti Singapura, nanti kalo banjir gimana? Monorail saja di kawasan sekitar senayan terbengkalai.
Terlalu banyak tampaknya problematika Jakarta.
Itu tadi kondisi lalu lintasnya, penduduknya bagaimana? menengah ke atas tidak usah kita bicarakan. Menengah ke bawah saja tampaknya lebih seru.
Pulang kerja seringnya saya menaiki bus 72 Lb. Bulus-Blok M. Setiap hari pasti ditemani kawanan pengamen, kalo pengamen nyanyinya niat ikhlas ngasih 500 perak atau 1000. Tapi kalo yang nyanyi asal-asalan dan berbau ancaman, biasanya sih ngasih karena takut.Biasanya yang mengancam ini anak jalanan bergaya ala Punk. Makin banyak saja anak jalanan bergaya ala Punk, terutama di kawasan Lb. Bulus-Ps. Jumat (padahal depannya ada sekolah polisi wanita).
Saat mereka menaiki bus atau mikrolet saya langsung merinding, bukan karena bau badannya saja, tapi lebih kepada etika nya. Naik bus langsung teriak-teriak, nyanyi dengan nada mengancam. Kalau ga dikasih uang mereka malah maki-maki. Tidak jarang juga saat saya tertidur dibangunkan paksa oleh mereka agar memberikan uang.
Tulisan di sini bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasi Anak Punk, karena setahu saya Anak Punk asli tidaklah seperti ini. Mereka adalah kaum intelek yang mengedapankan masalah sosial, sebuah sub-budaya dan juga menjadi ideologi hidup. Aslinya mereka adalah kaum berpikir, yang memikirkan aspek-aspek politik, sosial dan ekonomi negaranya. Mereka mengalirkan aspirasi-aspirasi melalui lirik lagu yang sangat menyindir, dengan nada upbeat dan penuh dengan hentakan.
(Jika ingin lebih lengkap, open me)
Tapi yang saya alami di sini lain, nadanya memang sama-sama upbeat, juga liriknya sama-sama menyindir negara kita, tetapi kenapa malah kami yang sesama masyarakat di ancam? Kenapa mereka harus memaksa meminta-minta? Bahkan pernah satu kali ada tiga sekawan anak ala Punk menaiki metro mini dan sangat rusuh. Gaya boleh mirip tapi mungkin ideologi sudah tidak sepaham dengan leluhurnya. Mereka langsung saja berkoar dan menghentak-hentakkan kaki yang membuat seluruh penumpang kaget. Menggedor-gedor atap bus, bahkan hampir ingin memukuli supir bus, padahal supir itu tidak melakukan apa pun kepada mereka.
Saya jadi berpikir apa yang ada di pikiran mereka, kalo mau ngamen ya nyanyi aja yang bagus dan kreatif dengan menggunakan alat musik, jangan asal teriak-teriak dan mengancam.
Bagaimana ini dinas sosial? bukannya ini juga merupakan tanggung jawab kalian? bukannya kaum muda seperti mereka harusnya ditampung, diberikan arahan dan diberdayakan sesuai bakat masing-masing?
Belum lagi akhir-akhir ini marak dengan larangan untuk memberi uang, barang atau makanan kepada pengemis. Lalu kenapa mereka tidak diamankan, kenapa masih banyak saja anak kecil berlarian di sepanjang kolong jembatan Lb. Bulus? Kalau ini sih diberikan karena iba, walaupun memang tidak mendidik. Lalu siapa yang harusnya mendidik mereka
Bukankah dalam pasal 34 UUD RI 1945 berbunyi Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Realitasnya?
Masa untuk menghindari ancaman mereka saya harus menaiki kendaraan pribadi? kalo gitu saya sama saja tutup mata dong seperti beberapa petinggi di negara ini?
Begitu banyak pesakitan di kota Jakarta. Hai para petinggi apa tindakan kalian?